Jumat, 03 Desember 2010

KEMAMPUAN LOBI DAN NEGOISASI MENJADI SUATU KEHARUSAN GLOBAL

Ditulis oleh Rusly ZA Nasution

H. Rusly ZA Nasution, Drs.,S.H.,MM. adalah dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Kepala Biro Administrasi Kemahasiswaan Universitas Langlangbuana.

Abstrak:
Dalam Era Globalisasi sekarang ini, konsep Lobi dan Negosiasi adalah merupakan suatu keharusan. Karena pergaulan kemasyarakatan baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional memerlukan pelobi-pelobi dan negosiator yang handal (komunikabilitas) untuk dapat mencegah tidak terjadi dan berkembangnya suatu konflik yang berkepanjangan yang pada gilirannya menjadi suatu bentrokan fisik, bahkan peperangan. Kata Kunci: Lobi, negosiasi, dan globalisasi.

A.Pendahuluan
Adalah hal yang jamak, apabila dalam sekumpulan orang terdapat berbagai perbedaan dalam pandangan, sikap, dan tingkah laku dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik di lingkup lokal, maupunnasional dan internasional. Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa, berjenis-jenis, berbagai karakter dengan kecerdasan dan ketajaman pikiran yang berbeda pula. Sebagian manusia sangat cerdas, berdisiplin, jujur, sabar, dan bertanggung jawab, namun sebagian lagi ada yang kurang cerdas, emosional/cepat marah, suka berbohong, indisipliner dan tidak bertanggung jawab. Kondisi kodrat seperti itu merupakan salah satu sumber penyebab; mengapa tidak semua persoalan mendapat tanggapan yang sama dan penyelesaiannya juga berbeda? Apakah perbedaanperbedaan yang terjadi yang berpotensi menjadi silang pendapat bahkan tindak kekerasan terus saja dibiarkan? Banyak kasus yang berawal dari silang pendapat bermuara menjadi tindak kekerasan; lihat tindak kekerasan dalam rumah tangga biasanya bermula dari silang pendapat. Begitu pula halnya silang pendapat tentang sebuah RUU boleh jadi berpotensi menjadi sebuah kerusuhan antara kelompok yang pro dan kontra, misalnya RUU-APP. Tindak kekerasan dan/atau konflik fisik dirasakan sebagai hal yang sangat merugikan salah satu pihak bahkan kedua-duanya. Tindak kekerasan bukan saja dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik dan tuntas, tetapi juga menelan biaya yang besar yang seharusnya bisa dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (lihat berapa jumlah biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan konflik Aceh?). Masyarakat luas pada umumnya sudah tidak lagi bisa menerima tindak kekerasan yang sangat bertentangan dengan HAM. Dalam lingkungan kehidupan organisasi kemasyarakatan, baik sosial, ekonomi maupun politik, upaya untuk mencapai sasaran dengan menggunakan kekerasan atau berdasarkan kekuatan otot belaka sudah bukan jamannya. Dalam menyelesaikan suatu perbedaan/pertentangan diperlukan dialog dan musyawarah melalui lobi dan negosiasi, meskipun adakalanya berlangsung alot dan membutuhkan waktu relatif lama (lihat konflik Aceh yang berlangsung puluhan tahun).

Dewasa ini proses melobbi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional yang serba global menjadi semakin penting, karena penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang atau kekerasan guna mendapatk konsesi atau persetujuan tidak lagi dapat diterima atau dianggap illegitimate. Dalam hubungan inilah, maka lobi dan negosiasi dapat merupakan solusi bagi mencegah berkembangnya pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk pergaulan internasional dalam orbit global.

B. Lobi dan Negosiasi
Sebagai Suatu Konsep Melakukan “lobi dan negosiasi” harus sesuai dengan prinsip- prinsip, strategi, teknik, dan taktik, esensi dan fungsinya, oleh karena itu disebut sebagai suatu konsep. Untuk memahami konsep termaksud perlu mensiasati terlebih dahulu pengertian atau definisi dari lobi dan negosiasi.


1.Pengertian Lobi (Lobbying)

Menurut kamus Webster, Lobby atau Lobbying berarti: Melakukan aktivitas yang bertujuan mempengaruhi pegawai umum dan khususnya anggota legislatif dalam pembuatan peraturan.
Menurut Advanced English – Indonesia Dictionary, Lobby atau Lobbying berarti: Orang atau kelompok yang mencari muka untuk mempengaruhi anggota Parlemen;. Sedangkan Lobbyist berarti: Orang yang mencoba mempengaruhi pembuat undang-undang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Melobi ialah melakukan pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian adalah bentuk partisipasi politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang. Dalam tulisan ini istilah
lobby atau Lobbying di Indonesia-kan menjadi Lobi sedangkan istilah lobbyist di Indonesia-kan menjadi Pelobi, yaitu orang yang melakukan Lobi. Definisi Lobi dapat disusun sebagai ;Suatu upaya pendekatan yang dilakukan oleh satu pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk memperoleh dukungan dari pihak lain yang dianggap memiliki pengaruh atau wewenang dalam upaya pencapaian tujuan yang ingin dicapai.

2. Pengertian Negosiasi

Negosiasi (Negotiation) dalam arti harfiah adalah negosiasi atau perundingan. Negosiasi adalah komunikasi timbal balik yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,





Negosiasi memiliki dua arti, yaitu:

1) Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;
2) Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Secara ringkas dapat dirumuskan, bahwa
Negosiasi adalah suatu proses perundingan antara para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang sesuatu permasalahan.

3. Esensi Lobi dan Negosiasi

Walaupun bentuknya berbeda, Namur esensi Lobi dan Negosiasi mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai sesuatu target (objective) tertentu. Lobi-lobi atau negosiasi harus diperankan oleh Pelobi (Lobyiest) yang mahir dan mempunyai kemampuan berkomunikasi yang tinggi (komunikabilitas). Hanya saja “Negosiasi” merupakan suatu proses resmi atau formal, sedangkan Lobi; merupakan bagian dari Negosiasi atau dapat pula dikatakan sebagai awal dari suatu proses Negosiasi.

4. Lobi sebagai awal Negosiasi

Dewasa ini upaya lobi-melobi bukan lagi monopoli dunia politik dan diplomasi, tetapi juga banyak dilakukan para pelaku bisnis, selebritis dan pihak-pihak lain termasuk PNS rendahan. Istilah Lobi yang berarti teras atau serambi ataupun ruang depan yang terdapat pada suatu bangunan atau hotel-hotel yang dijadikan sebagai tempat duduk tamu-tamu. Sambil duduk-duduk dan bertemu secara santai, seraya berbincang-bincang untuk membicarakan sesuatu mulai dari hal yang ringan-ringan sampai EDUCARE: Jurnal Pendidikan dan Budaza, kepada masalah politik dan pemerintahan dalam negeri bahkan luar negeri, baik dalam rangka pendekatan awal sebelum pelaksanaan negosiasi maupun secara berdiri sendiri untuk kepentingan lobi itu sendiri. Biasanya lobi-lobi dilakukan sebagai pendekatan dalam rangka merancang sesuatu perundingan. Apabila lobi berjalan mulus diyakini akan menghasilkan perundingan yang sukses. 5. Negosiasi sebagai suatu Fungsi dan Sarana Istilah Negosiasi sebenarnya berawal dari dunia diplomasi yaitu dunia yang digeluti oleh para diplomat (Dubes, Duta, Kuasa Usaha, Konsul, dan lainlain) dalam melakukan kegiatan sesuai kepentingan negaranya di negara mana mereka bertugas.

Jadi, negosiasi adalah merupakan salah satu fungsi utama dari para Diplomat. Oleh karena itu, dalam pergaulan internasional hampir setiap negara menempatkan diplomat-diplomatnya di negara-negara sahabat. Meskipun istilah dan praktik negosiasi berawal dari dunia diplomasi, namun dewasa ini sudah menjadi sarana pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam dimensi eksternal maupun dimensi domestik.

Kata kunci Negosiasi; persetujuan yang dapat diterima oleh para pihak. Kata kunci ini berlaku bagi segala macam Negosiasi, seperti:
a. Negosiasi diplomatik
b.Negosiasi perdagangan internasional (bilateral maupun multilateral)
c. Negosiasi global (seperti negosiasi sengketa utara & selatan)
d. Negosiasi antara buruh dan majikan
e. Negosiasi antara penjual dan pembeli
f. Negosiasi antara dua korporasi yang ingin melakukan merger atau aliansi strategik.
g. Negosiasi pembentukan joint venture
h. Negosiasi mengenai investasi langsung (direct investment) i. Negosiasi pilkada j. Negosiasi pemenangan tender, dan sebagainya.

6. Prinsip, Strategi, Teknik, dan Taktik Lobi dan Bernegosiasi

Lobi memiliki beberapa karakteristik yaitu bersifat informal dalam berbagai bentuk, pelakunya juga beragam, dapat melibatkan pihak ketiga sebagai perantara, tempat dan waktu fleksibel dengan pendekatan satu arah oleh pelobi. Ada beberapa cara untuk melakukan lobi baik yang legal maupun ilegal, secara terbuka maupun tertutup/rahasia, secara langsung ataupun tidak langsung. Sebagai contoh: upaya penyuapan dapat dikategorikan sebagai lobi secara langsung, tertutup dan ilegal. Lobi semacam ini jelas melanggar hukum, namun karena bersifat tertutup/rahasia, agak sulit untuk membuktikannya (contoh: kasus-kasus lobi pemenangan tender dengan pendekatan gula-gula/wanita, seperti yang sering diberitakan diberbagai mass media).

C. Modal dan Model Negoisasi

1. Modal Negosiasi
a. Menurut sejumlah ilmuwan Sosial, yaitu: French dan Roven,
Baldridge dan Kanter dalam Mufid A. Busyairi, (1997). Ada beberapa sumber kekuatan dalam melakukan Negosiasi yaitu:
1) otoritas,
2) informasi dan keahlian,
3) kontrol terhadap penghargaan,
4) kekuatan memaksa dengan kekerasan,
5) aliansi dan jaringan,
6) akses terhadap dan kontrol kepada agenda,
7) mengendalikan tujuan dan simbol-simbol, dan
8) kekuatan personal.

b.Di samping delapan modal tersebut di atas, sebelum menetapkan aktor/pelobi/perunding, tempat dan waktu perundingan, pendekatan dan target,keberhasilan Lobi adalah merupakan modal yang tidak kalah pentingnya.

c. Strategi, teknik dan taktik Negosiasi yang telah dirancang dengan baik dengan
memenuhi prinsip-prinsip bernegosiasi adalah juga merupakan modal yang dapat menentukan keberhasilan Negosiator dalam bernegosiasi, termasuk di dalamnya kemampuan berkomunikasi.
Strategi yang dimaksud adalah:
1) Negosiator harus tahu persis target (objective) yang ingin dicapai.
2) Negosiator harus memiliki wewenang untuk melakukan negosiasi.
3) Negosiator harus mendalami masalah-masalah yang dirundingkan dengan baik.
4) Negosiator harus mengenali mitra rundingnya dengan baik.
5) Negosiator harus memahami hal-hal yang prinsip dan bukan prinsip.

2. Model Pendekatan Negosiasi

Belajar dari banyak kasus Negosiasi yang pernah terjadi menunjukkan adanya dua model pendekatan negosiasi, yaitu:

a.Model Pendekatan Kooperatif

Model pendekatan ini disebut juga model Pemecahan Masalah Bersama atau Model Menang-menang. Menurut Schoonmaker (1989) yang dikutip Mufid A. Busyairi (1997), Negosiasi Menang-menang layak dilakukan jika masalah yang dinegosiasikan menyangkut kepentingan bersama dan antar pihak yang bernegosiasi terdapat hubungan saling percaya mempercayai. Oleh karena itu, tindakan yang disarankan oleh Thorn (dalam Mufid A. Busri, 1997) yang perlu dilakukan dalam negosiasi menang-menang adalah:
1) memastikan bahwa pihak lain memilih model menang-menang (bukan mau
menang sendiri),
2) mengenali masalah yang dihadapi (tidak membahas pemecahan sebelum mengenal masalah),
3) menangani masalah yang berpotensi mempunyai pemecahan yang menghasilkan menang-menang.
4) saling membagi informasi,
5) memberi tanda-tanda positif kepada pihak lain seperti memberi hadiah-hadiah,
6) menghindari sikap bertahan dan memberikan persetujuan jika iklimnya sesuai, dan
7) menghindari sedapat mungkin pendekatan legalistik.

Negosiasi menang-menang adalah merupakan model negosiasi yang lebih besar peluang keberhasilannya bila dibanding dengan negosiasi menang-kalah (lihat peristiwa Aceh!). Kemenangan yang diperoleh adalah kemenangan bersama, karena pemecahan yang dihasilkan mengacu kepada fokus interes bersama bukan berdasar pada posisi masing-masing pihak.

b. Model Pendekatan Kompetitif

Model ini sering juga disebut dengan istilah model pendekatan menang-kalah;. Menurut Thorn yang dikutip oleh Mufid A. Busyairi (1997), untuk memenangkan
negosiasi model menang-kalah agar menempuh 4 (empat) langkah:
1) menjelaskan komitmen kita secara tegas tentang
apa yang kita inginkan.
2) menunjukkan akibat-akibat yang akan terjadi jika keinginan tersebut tidak tercapai.
3) menghadang lawan untuk mencapai keinginannya.
4) Menunjukkan jalan keluar yang bisa menyelamatkan muka lawan dengan menawarkan konsesi penghibur.

Model menang-kalah ini tidak selalu dalam bentuk kekerasan seperti menggunakan ancaman, teror, pembunuhan sampai dengan perang dan/atau kekerasan lainnya. Model menang-kalah apabila telah menjadi pilihan menandakan adanya sikap bahwa pihak lawan tidak bisa diajak berkawan (kawan
bermasyarakat, bernegara dan berpolitik) tetapi telah menempatkan lawan negosiasi sebagai musuh atau sebagai pihak yang dikuasai.

Cara negosiasi dengan kekesaran dapat dicermati dalam film Goodfather karya Puzo. Dengan menggenggam sepucuk senapan yang sudah dikokang dengan menodongkan arah kepala, sang aktor berkata akan saya berikan tawaran yang tidak bisa anda tolak. Anda tandatangani atau otak Anda akan berceceran di atas
kontrak ini. Memang negosiasi model menang-kalah tidak efisien dan sering tidak menghasilkan apa-apa karena tidak mampu menggunakan peluang yang ada untuk keuntungan bersama.

D. Praktik Lobi dan Negosiasi: Beberapa Kasus

Beberapa kasus pertentangan yang dimulai dari perbedaan kepentingan sampai pada pertentangan politik tingkat lokal, nasional dan internasional dapat diselesaikan melalui lobi atau negosiasi, baik secara kooperatif maupun kompetitif di antaranya adalah:

1. Kasus Pilkada Pada tahun 2000, sekitar bulan April di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera melangsungkan pesta demokrasi, yaitu pemilihan Bupati/Wakil Bupati daerah setempat (belum pemilihan langsung).

Lobi-lobi dan negosiasi antara para calon dengan partai politik sebagai perahu tumpangan dan para anggota DPRD sebagai pemilik suara (one man – one vote) berlangsung “dahsyat”. Berbagai pendekatan dilakukan; mulai dari lobi-lobi ringan dengan memberikan bingkisan lebaran kepada para anggota Dewan, sampai dengan perundingan-perundingan yang berat, seperti: money politic yang bervariasi one man two hundred; one man one car; pilih kuda atau kijang (di teror atau menerima hadiah mobil kijang), melakukan pendekatan paksa yaitu memboyong anggota Dewan yang diperkirakan akan memilih calon lainnya kalau tidak boleh dikatakan mengkerangkeng; yang dikenal dengan istilah & serangan fajar. Bentuk/model pendekatan manapun yang dipakai oleh para Tim Sukses dari masing-masing calon, kesemuanya adalah terpulang kepada kemampuan berkomunikasi yang komunikabilitas. Hanya saja teknik yang digunakan ada yang bersifat kooperatif dan ada pula yang kompetitif yaitu dengan menghalalkan segala cara – pokoknya menang (terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati). Pada akhirnya calon yang kurang efektif dalam lobi-melobi dan bernegosiasi akan tersingkir, walaupun oleh masyarakat calon yang menang bukanlah calon yang tepat dan tidak berbobot atau tidak pantas untuk memimpin daerah. Tetapi kalau sudah terpilih oleh anggota Dewan Yang Terhormat (sekarang pemilihan langsung) mau apa lagi. Garbage in Garbage out. kalau yang terpilih berkualitas sampah, kepemimpinannya juga seperti sampah. 2. Kasus-kasus Pemberontakan Dalam Negeri Sepanjang sejarah telah beberapa kali terjadi pemberontakan yang bertujuan ingin melepaskan diri dari NKRI dan merdeka (mendirikan negara sendiri), seperti: RMS di Maluku; Permesta di Sulawesi Utara; PRRI di Sumatera Brat; GAM di Aceh, dan OPM di Papua. Selain itu ada pula pemberontakan yang bertujuan mengganti ideologi Pancasila (DI/TII dan G.30.S/PKI). Namun mengapa perbedaan dan pertentangan yang melahirkan pemberontakan dapat terjadi, jawabannya boleh jadi karena kegagalan lobi dan negosiasi. Walaupun peristiwa pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dengan senjata dalam arti penyelesaiannya menggunakan pendekatan menang-kalah (kompetitif). Sebagai contoh, bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah beberapa tahun dilakukan penumpasan dengan angkat senjata oleh TNI/Polri namun tidak tuntas, kemudian dilakukan
lobi-lobi dan perundingan/negosiasi yang pada akhirnya menghasilkan persetujuan (MOU Helsinki) yang saling menguntungkan (menang-menang) suatu pendekatan kooperatif. Pendekatan kooperatif dilakukan, karena selain penerapan pendekatan kompetitif dengan memerangi GAM (yang mendapat bantuan LN?) dirasa kurang efektif juga memang cara-cara kekerasan tidak disukai oleh dunia internasional.

3. Kasus Perang Dingin Amerika Serikat Uni Soviet Ketika Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet memuncak dan akan berubah menjadi Perang Terbuka, karena Presiden Uni Soviet mengancam akan mengangkat senjata (Perang Terbuka). Untuk menjawab tawaran berdasarkan ancaman senjata yang diperkirakan tidak akan menguntungkan Amerika, Presiden J.F. Kennedy menggertak dengan berkata I can loose ! Why ? I will tell you why. Becaouse I have knowledge, Courage and enthuasm. Dengan gertakan tersebut telah membuat dan memudarkan keinginan Soviet untuk berperang secara terbuka. Perang Terbuka tidak terjadi. Dalam kasus ini menggunakan model kompetitif (menangkalah) yaitu pihak yang menang adalah Amerika karena Perang Terbuka tidak terjadi. Namun tidak demikian halnya dengan sengketa AS dan Irak. Dalam kasus ini jelas terlihat betapa penting arti sebuah lobi. Memang di Era Globalisasi
sekarang ini, kalau sesuatu perbedaan/pertikaian tidak dapat diselesaikan melalui perundingan dengan lobi-lobi yang menyakinkan, niscaya akan terjadi lagi Perang Dunia III atau setidaknya akan terulang Perang Irak (Perang Teluk)
dan/atau interpensi/teror-teror lainnya.

E. Penutup

Setelah memahami konsep Lobi dan Negosiasi serta mencermati dan mensiasati kasus-kasus/peristiwa-peristiwa tentang beberapa perbedaan/ pertentangan dan persengketaan dalam pergaulan di tingkat lokal, nasional, dan internasional, maka dirasakan bahwa “Konsep lobi, dan negosiasi sudah menjadi suatu keharusan global” kalau tidak boleh dikatakan sebagai suatu kemutlakan. N. Schoonmaker,

Langkah-langkah Memenangkan Negosiasi, PIM, Jakarta, 1993.
§ Dewi Fortuna Anwar, Lobbying dan Negosiasi, Makalah pada Orientasi Pendalaman Bidang Tugas Ketua-ketua DPRD Tingkat II se-Indonesia, Badan Diklat Depdagri, Jakarta, 1997.
§ Hasnan Habib, Faktor-faktor Strategik dalam Negosiasi Internasional, Makalah dalam Seminar Sehari: Strategi Negosiasi Bisnis di Era Globalisasi;, Kerjasama LAN dan Lembaga Bina Profesi, Jakarta, 1997.
§ Mufid A. Busyairi, Negosiasi untuk Mencapai Kesepakatan, Makalah pada Orientasi Pendalaman Bidang Tugas Ketua-ketua DPRD Tingkat II se-Indonesia, Badan Diklat Depdagri, Jakarta, 1997.
§ Yeremi G. Thorn, Terampil Bernegosiasi, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1995.

Media Massa, Pemerintah dan Humas

Media massa sering dikatakan memiliki peran sebagai "anjing penjaga" dan berdiri di sisi yang berlawanan dengan pemerintah. Salah satu manfaat utama pers yang bebas dalam sistem demokrasi sering dinyatakan dengan kewajiban untuk menyediakan informasi pada masyarakat mengenai kinerja pemerintah.
Tetapi, sukar ditemukan alasan yang mendasari pers sebagai "anjing penjaga" kinerja pemerintah. Istilah tersebut mengesankan bahwa pers telah menjadi perwakilan dari rakyat untuk 'menjaga' dan 'memerhatikan' kinerja pemerintah. Dengan asumsi itu, pemerintah terkesan selalu salah, sementara pers selalu benar. Pers pun memandang bahwa institusinya berdedikasi tinggi apabila sukses memperlihatkan 'kegagalan' pemerintah. Dengan senang hati, pers memublikasikan informasi yang bisa meningkatkan oplah, mengisi komersial slot tanpa khawatir bahwa yang dipublikasikan dapat berdampak buruk pada masyarakat.
Kenyataannya, pers pada umumnya adalah institusi swasta yang berorientasi pada laba.

Pers itu bebas, termasuk untuk berpihak. Contohnya, sebuah media massa dapat mendukung semua kebijakan pemerintah atau mungkin menentang kebijakan lainnya. Atau bisa saja bersikap mendua terhadap suatu kebijakan, kadang bersikap pro dan kadang bersikap kontra. Sebuah media massa bisa menentukan diri sebagai lawan pemerintah, atau sebagai 'pengawal' kebijakan pemerintah. Sebuah media massa dapat mengritisi dan menentukan bagaimana suatu kebijakan menjadi kesalahan. Media massa dapat bertindak sebagai "anjing penjaga" atau "senjata" untuk mendukung atau sebaliknya menyerang pemerintah.
Suara pemerintah bisa menjadi bahan perbincangan, perdebatan dan interpretasi oleh figur-figur media. Pernyataan pemerintah segera ditanggapi dalam tajuk rencana yang menginterpretasikan apa yang 'sebenarnya' dikatakan oleh pejabat tersebut dan apa yang 'sebenarnya' dimaksudkan. Sayangnya, kadang interpretasi tersebut cenderung premature dan instant. Analisis instan segera menjadi bias instan. Distorsi kerap terjadi hingga menyesatkan masyarakat. Hal-hal demikian berdampak negatif pada pemberitaan mengenai pemerintah.

Benarkah pemerintah membutuhkan pers sebagai kanal informasi untuk masyarakat? Benarkah pemerintah tanpa pers benar-benar tidak berdaya untuk menyosialisasikan kebijakan dan pelayanan publik? Benarkah hubungan yang terjalin antara media massa swasta dan pemerintah layak dijalankan meskipun ada kemungkinan besar terjadi pengemasan berita yang bias hingga mengarah pada runtuhnya kepercayaan masyarakat?


Kenyataannya, banyak jurnalis bergantung pada aparat pemerintah untuk pemberitaan. Faktanya, semua informasi yang diberitakan oleh media massa tentang pemerintah didapat dari (bahkan divalidasi oleh) pejabat pemerintah, termasuk mengenai event-event nasional, kecuali bila mereka mendapat informasi dari sumber berita otoritas berwenang. Secara tradisional, jurnalis tergantung serta harus bekerja sama dangan sumber resmi pemerintah. Pemerintah memberikan respons dengan menyediakan informasi yang padat dan seimbang, undangan untuk berpartisipasi pada berbagai kegiatan, bahkan menyediakan 'tunjangan' demi menghindari publikasi negatif. Ungkapan "WTS" (Wartawan Tanpa Surat Kabar), Wartawan CNN (Wartawan Cuma Nanya-nanya) pun tetap populer di kalangan jurnalis yang sering mencari berita di instansi-instansi pemerintah. Agar masyarakat menerima informasi yang jernih dan berimbang, pemerintah harus lebih melibatkan diri dalam dunia media massa.

Peran Humas
Pemerintah saat ini telah memiliki kapasitas untuk mengungkapkan informasi secara langsung. Kembalinya Departemen Penerangan dengan kemasan baru, kehadiran beragam situs resmi instansi pemerintah yang telah menghabiskan anggaran miliaran rupiah, kehadiran puluhan media massa internal pemerintah serta beragam jurnal menunjukkan kemampuan pemerintah menyediakan informasi yang dibutuhkan masyarakat. Dhus, pemerintah sebaiknya mulai mengurangi peran instansi swasta dalam pemberian informasi.


Hampir seluruh instansi pemerintah memiliki kantor humas, divisi yang melakukan manajemen media massa, pembangun citra, jembatan pemerintah dengan masyarakat, serta penghubung pemerintah dengan pers. Kantor humas telah melakukan publikasi internal, memberdayakan kantor-kantor wilayah serta unit pelayanan teknis agar berperan sebagai outlet informasi. Pejabat humas pemerintah sebenarnya memiliki kemampuan bersaing dengan editor institusi swasta, khususnya dalam uji kompetensi. Tetapi, citra pegawai negeri sipil selama ini selalu dianggap korup dan terlalu santai. Kesan negatif pun telanjur menancap di benak masyarakat kita. Citra warisan yang telah berumur puluhan tahun yang semestinya diubah.


Sebelum bola reformasi bergulir, pemerintah memiliki imej sebagai manipulator informasi. Bahkan setelah reformasi, imej ini tidak banyak berubah. Pemerintah seolah dianggap 'musuh' yang harus dilawan. Dengan bergulirnya reformasi, pemerintah menransformasikan diri agar menjadi pemerintahan yang bersih dan benar.
Masyarakat telah memahami hak-haknya yang sekaligus juga menjadi kewajiban pemerintah. Dalam bidang pelayanan publik, masyarakat menuntut sistem pemerintahan yang bersih dan transparan. Masyarakat berhak atas akses informasi, sebaliknya pemerintah wajib menjamin akses tersebut terjaga dan terkontrol agar tidak menimbulkan ekses negatif akibat eksploitasi pemberitaan yang bombastis. Karena, pada akhirnya rakyat juga yang dirugikan.


Wajah aparat birokrasi kita yang memang carut-marut sudah saatnya diperhatikan melalui perbaikan gaji sekaligus perbaikan kinerja dengan terus meningkatkan citra pegawai negeri dan membangun sistem yang transparan. Tentu implementasinya tidaklah mudah karena tradisi yang tercipta selama puluhan tahun.
Seiring dengan perubahan menuju tatanan baru demokrasi, reformasi segala bidang termasuk di dalamnya reformasi performa pegawai negeri, sistem kehumasan serta sistem hubungan dengan media massa, maka memberdayakan divisi humas untuk mengubah citra aparat birokrasi agar lebih tanggap menyikapi fenomena masyarakat, sangat penting. Perkembangan teknologi informasi menuntut divisi humas dituntut lebih responsif terhadap keluhan masyarakat.Bahwa institusi pemerintah tidaklah seburuk yang disangka dan pegawai negeri adalah juga rakyat Indonesia. Seyogianya kantor-kantor humas memang harus diberdayakan untuk menjaga nama baik aparat pemerintah serta menjalin kerja sama dengan pers agar tercipta pemberitaan yang berimbang, bermanfaat, dan bertanggung jawab. ***

Oleh: Fatma Puspita Sari, pegawai negeri sipil, alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Massa, Fakultas Sospol Universitas Sebelas Maret Solo.

Lobby Dan Negosiasi

konsep Lobi dan Negosiasi
adalah merupakan suatu keharusan. Karena pergaulan kemasyarakatan baik di tingkat lokal, nasional maupuninternasional memerlukan pelobi-pelobi dan negosiator yang handal (komunikabilitas) untuk dapat mencegah tidak terjadi dan berkembangnya suatu konflik yang berkepanjangan yang pada gilirannya menjadi suatu bentrokan fisik, bahkan peperangan. Kata

Lobi, negosiasi, dan globalisasi.
Adalah hal yang jamak, apabila dalam sekumpulan orang terdapat berbagai perbedaan dalam pandangan, sikap, dan tingkah laku dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik di lingkup lokal, maupun nasional dan internasional. Tuhan menciptakan manusia berbangsa-angsa, berjenis-jenis, berbagai karakter dengan kecerdasan dan ketajaman pikiran yang berbeda pula. Sebagian manusia sangat cerdas, berdisiplin, jujur, sabar, dan bertanggung jawab, namun sebagian lagi ada yang kurang cerdas, emosional/cepat marah, suka berbohong, indisipliner dan tidak bertanggung jawab. Kondisi kodrat seperti itu merupakan salah satu sumber penyebab; mengapa tidak semua persoalan mendapat tanggapan yang sama dan penyelesaiannya juga berbeda? Apakah perbedaan perbedaan yang terjadi yang berpotensi menjadi silang pendapat bahkan tindak kekerasan terus saja dibiarkan?

Banyak kasus yang berawal dari silang pendapat bermuara menjadi tindak kekerasan; lihat tindak kekerasan dalam rumah tangga biasanya bermula dari silang pendapat. Begitu pula halnya silang pendapat tentang sebuah RUU boleh jadi berpotensi menjadi sebuah kerusuhan antara kelompok yang pro dan kontra, misalnya RUU-APP. Tindak kekerasan dan/atau konflik fisik dirasakan sebagai hal yang sangat merugikan salah satu pihak bahkan kedua-duanya. Tindak kekerasan bukan saja dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah dengan baik dan tuntas, tetapi juga menelan biaya yang besar yang seharusnya bisa dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat (lihat berapa jumlah biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk menyelesaikan konflik Aceh?).

Masyarakat luas pada umumnya sudah tidak lagi bisa menerima tindak kekerasan yang sangat bertentangan dengan HAM. Dalam lingkungan kehidupan organisasi kemasyarakatan, baik sosial, ekonomi maupun politik, upaya untuk mencapai sasaran dengan menggunakan kekerasan atau berdasarkan kekuatan otot belaka sudah bukan jamannya. Dalam menyelesaikan suatu perbedaan/pertentangan diperlukan dialog dan musyawarah melalui lobi dan negosiasi, meskipun adakalanya berlangsung alot dan membutuhkan waktu relatif lama (lihat konflik Aceh yang berlangsung puluhan tahun).

Dewasa ini proses lobimelobi ; baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional yang serba global menjadi semakin penting, karena penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang atau kekerasan guna mendapatkan konsesi atau persetujuan tidak lagi dapat diterima atau dianggap llegitimate. Dalam hubungan inilah, maka lobi dan negosiasi dapat merupakan solusi bagi mencegah berkembangnya pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk pergaulan internasional dalam orbit global.

B. Lobi dan Negosiasi Sebagai Suatu Konsep

Melakukan lobi dan negosiasi harus sesuai dengan prinsip- prinsip, strategi, teknik, dan taktik, esensi dan fungsinya, oleh karena itu disebut sebagai suatu konsep. Untuk memahami konsep termaksud perlu mensiasati terlebih dahulu pengertian atau definisi dari lobi dan negosiasi.

1.Pengertian Lobi (Lobbying)
Menurut kamus Webster, Lobby atau Lobbying berarti: Melakukan aktivitas yang bertujuan mempengaruhi pegawai umum dan khususnya anggota legislatif dalam pembuatan peraturan.

Menurut Advanced English & ndash; Indonesia Dictionary, Lobby atau Lobbying berarti: Orang atau kelompok yang mencari muka untuk mempengaruhi anggota Parlemen. Sedangkan Lobbyist berarti: Orang yang mencoba mempengaruhi pembuat undang-undang;. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Melobi ialah melakukan pendekatan secara tidak resmi, sedangkan pelobian adalah bentuk partisipasi politik yang mencakup usaha individu atau kelompok untuk menghubungi para pejabat pemerintah atau pimpinan politik dengan tujuan mempengaruhi keputusan atau masalah yang dapat menguntungkan sejumlah orang.

Dalam tulisan ini istilah lobby atau Lobbying di Indonesia-kan menjadi Lobi, sedangkan istilah lobbyist di Indonesia-kan menjadi Pelobi, yaitu orang yang melakukan Lobi. Definisi Lobi dapat disusun sebagai Suatu upaya pendekatan yang dilakukan oleh satu pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk memperoleh dukungan dari pihak lain yang dianggap memiliki pengaruh atau wewenang dalam upaya pencapaian tujuan yang ingin dicapai

2. Pengertian Negosiasi
Negosiasi (Negotiation) dalam arti harfiah adalah negosiasi atau perundingan. Negosiasi adalah komunikasi timbal balik yang dirancang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Negosiasi memiliki dua arti, yaitu:
1) Proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain;

2) Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Secara ringkas dapat dirumuskan, bahwa Negosiasi adalah suatu proses perundingan antara para pihak yang berselisih atau berbeda pendapat tentang sesuatu permasalahan.

3. Esensi Lobi dan Negosiasi Walaupun bentuknya berbeda, Namur esensi Lobi dan Negosiasi; mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mencapai sesuatu target (objective) tertentu. Lobi-lobi atau negosiasi harus diperankan oleh Pelobi (Lobyiest) yang mahir dan mempunyai kemampuan berkomunikasi yang tinggi (komunikabilitas). Hanya saja ;Negosiasi merupakan suatu proses resmi atau formal. Sedangkan Lobi merupakan bagian dari Negosiasi atau dapat pula dikatakan sebagai awal dari suatu proses Negosiasi.

4. Lobi sebagai awal Negosiasi
Dewasa ini upaya lobi-melobi bukan lagi monopoli dunia politik dan diplomasi, tetapi juga banyak dilakukan para pelaku bisnis, selebritis dan pihak-pihak lain termasuk PNS rendahan. Istilah Lobi yang berarti teras atau serambi ataupun ruang depan yang terdapat pada suatu bangunan atau hotel-hotel yang dijadikan sebagai tempat duduk tamu-tamu. Sambil duduk-duduk dan bertemu secara santai, seraya berbincang-bincang untuk membicarakan sesuatu mulai dari hal yang ringan-ringan sampai kepada masalah politik dan pemerintahan dalam negeri bahkan luar negeri, baik dalam rangka pendekatan awal sebelum pelaksanaan negosiasi maupun secara berdiri sendiri untuk kepentingan lobi itu sendiri.

Biasanya lobi-lobi dilakukan sebagai pendekatan dalam rangka merancang sesuatu perundingan. Apabila lobi berjalan mulus diyakini akan menghasilkan perundingan yang sukses.

5. Negosiasi sebagai suatu Fungsi dan Sarana
Istilah Negosiasi sebenarnya berawal dari dunia diplomasi yaitu dunia yang digeluti oleh para diplomat (Dubes, Duta, Kuasa Usaha, Konsul, dan lainlain) dalam melakukan kegiatan sesuai kepentingan negaranya di negara mana mereka bertugas.

Jadi, negosiasi adalah merupakan salah satu fungsi utama dari para Diplomat. Oleh karena itu, dalam pergaulan internasional hampir setiap negara menempatkan diplomat-diplomatnya di negara-negara sahabat. Meskipun istilah dan praktik negosiasi berawal dari dunia diplomasi, namun dewasa ini sudah menjadi sarana pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik dalam dimensi eksternal maupun dimensi domestik.

Kata kunci Negosiasi; persetujuan yang dapat diterima oleh para pihak”. Kata kunci ini berlaku bagi segala macam Negosiasi, seperti:
a. Negosiasi diplomatik
b. Negosiasi perdagangan internasional (bilateral maupun multilateral)
c. Negosiasi global (seperti negosiasi sengketa utara – selatan)
d. Negosiasi antara buruh dan majikan
e. Negosiasi antara penjual dan pembeli
f. Negosiasi antara dua korporasi yang ingin melakukan merger atau aliansi strategik.
g. Negosiasi pembentukan joint venture
h. Negosiasi mengenai investasi langsung (direct investment)
i. Negosiasi pilkada
j. Negosiasi pemenangan tender, dan sebagainya.

6. Prinsip, Strategi, Teknik, dan Taktik Lobi dan Bernegosiasi
Lobi memiliki beberapa karakteristik yaitu bersifat informal dalam berbagai bentuk, pelakunya juga beragam, dapat melibatkan pihak ketiga sebagai perantara, tempat dan waktu fleksibel dengan pendekatan satu arah oleh pelobi.

Ada beberapa cara untuk melakukan lobi baik yang legal maupun ilegal, secara terbuka maupun tertutup/rahasia, secara langsung ataupun tidak langsung. Sebagai contoh: upaya penyuapan dapat dikategorikan sebagai lobi secara langsung, tertutup dan ilegal. Lobi semacam ini jelas melanggar hukum, namun karena bersifat tertutup/rahasia, agak sulit untuk membuktikannya (contoh: kasus-kasus lobi pemenangan tender dengan pendekatan gula-gula/wanita, seperti yang sering diberitakan diberbagai mass media).

C. Modal dan Model Negoisasi

1. Modal Negosiasi a. Menurut sejumlah ilmuwan Sosial, yaitu: French dan Roven, Baldridge dan Kanter dalam Mufid A. Busyairi, (1997). Ada beberapa sumber kekuatan dalam melakukan Negosiasi, yaitu:
1) otoritas,
2) informasi dan keahlian,
3) kontrol terhadap penghargaan,
4) kekuatan memaksa dengan kekerasan,
5) aliansi dan jaringan,
6) akses terhadap dan kontrol kepada agenda,
7) mengendalikan tujuan dan simbol-simbol, dan
8) kekuatan personal.

Di samping delapan modal tersebut di atas, sebelum menetapkan aktor/pelobi/perunding, tempat dan waktu perundingan, pendekatan dan target. Keberhasilan Lobi adalah merupakan modal yang tidak kalah pentingnya. Strategi, teknik dan taktik Negosiasi yang telah dirancang dengan baik dengan memenuhi prinsip-prinsip bernegosiasi adalah juga merupakan modal yang dapat menentukan keberhasilan Negosiator dalam bernegosiasi, termasuk di dalamnya kemampuan berkomunikasi.

Strategi yang dimaksud adalah:
1) Negosiator harus tahu persis target (objective) yang ingin dicapai.
2) Negosiator harus memiliki wewenang untuk melakukan negosiasi.
3) Negosiator harus mendalami masalah-masalah yang dirundingkan dengan baik.
4) Negosiator harus mengenali mitra rundingnya dengan baik.
5) Negosiator harus memahami hal-hal yang prinsip dan bukan prinsip.

Model negosiasi
Model Pendekatan Negosiasi Belajar dari banyak kasus Negosiasi yang pernah terjadi menunjukkan adanya dua model pendekatan negosiasi, yaitu:

a. Model Pendekatan Kooperatif
Model pendekatan ini disebut juga model Pemecahan Masalah Bersama atau Model Menang-menang;. Menurut Schoonmaker (1989) yang dikutip Mufid A. Busyairi (1997), Negosiasi Menang-menang layak dilakukan jika masalah yang dinegosiasikan menyangkut kepentingan bersama dan antar pihak yang bernegosiasi terdapat hubungan saling percata mempercayai.

Oleh karena itu, tindakan yang disarankan oleh Thorn (dalam Mufid A. Busri, 1997) yang perlu dilakukan dalam negosiasi menang-menang adalah:
1) memastikan bahwa pihak lain memilih model menang-menang (bukan mau menang sendiri),
2) mengenali masalah yang dihadapi (tidak membahas pemecahan sebelum mengenal masalah), 3) menangani masalah yang berpotensi mempunyai pemecahan yang menghasilkan menang-menang.
4) saling membagi informasi,
5) memberi tanda-tanda positif kepada pihak lain seperti memberi hadiah-hadiah,
6) menghindari sikap bertahan dan memberikan persetujuan jika iklimnya sesuai,
7) menghindari sedapat mungkin pendekatan legalistik.

Negosiasi menang-menang adalah merupakan model negosiasi yang lebih besar peluang keberhasilannya bila dibanding dengan negosiasi menang-kalah (lihat peristiwa Aceh!). Kemenangan yang diperoleh adalah kemenangan bersama, karena pemecahan yang dihasilkan mengacu kepada fokus interes bersama bukan berdasar pada posisi masing-masing pihak.

b. Model Pendekatan Kompetitif
Model ini sering juga disebut dengan istilah model pendekatan menang-kalah”. Menurut Thorn yang dikutip oleh Mufid A. Busyairi (1997), untuk memenangkan negosiasi model menang-kalah agar menempuh 4 (empat) langkah:
1) menjelaskan komitmen kita secara tegas tentang apa yang kita inginkan.
2) menunjukkan akibat-akibat yang akan terjadi jika keinginan tersebut tidak tercapai.
3) menghadang lawan untuk mencapai keinginannya.
4) Menunjukkan jalan keluar yang bisa menyelamatkan muka lawan dengan menawarkan konsesi penghibur.

Model menang-kalah ini tidak selalu dalam bentuk kekerasan seperti menggunakan ancaman, teror, pembunuhan sampai dengan perang dan/atau kekerasan lainnya. Model menang-kalah apabila telah menjadi pilihan menandakan adanya sikap bahwa pihak lawan tidak bisa diajak berkawan (kawan bermasyarakat, bernegara dan berpolitik) tetapi telah menempatkan lawan negosiasi sebagai musuh atau sebagai pihak yang dikuasai. Cara negosiasi dengan kekesaran dapat dicermati dalam film;Goodfather; karya Puzo. Dengan menggenggam sepucuk senapan yang sudah dikokang dengan menodongkan arah kepala, sang aktor berkata akan saya berikan tawaran yang tidak bisa anda tolak. Anda tandatangani atau otak Anda akan berceceran di atas kontrak ini. Memang negosiasi model menang-kalah tidak efisien dan sering tidak menghasilkan apa-apa karena tidak mampu menggunakan peluang yang ada untuk keuntungan bersama.




D. Praktik Lobi dan Negosiasi: Beberapa Kasus
Beberapa kasus pertentangan yang dimulai dari perbedaan kepentingan sampai pada pertentangan politik tingkat lokal, nasional dan internasional dapat diselesaikan melalui lobi atau negosiasi, baik secara kooperatif maupun kompetitif di antaranya adalah:
1.Kasus Pilkada Pada tahun 2000, sekitar bulan April di salah satu kabupaten di Pulau Sumatera melangsungkan pesta demokrasi, yaitu pemilihan Bupati/Wakil Bupati daerah setempat (belum pemilihan langsung). Lobi-lobi dan negosiasi antara para calon dengan partai politik sebagai perahu tumpangan dan para anggota DPRD sebagai pemilik suara (one man one vote) berlangsung “dahsyat”. Berbagai pendekatan dilakukan; mulai dari lobi-lobi ringan dengan memberikan bingkisan lebaran kepada para anggota Dewan, sampai dengan perundingan-perundingan yang berat, seperti: money politic yang bervariasi;one man two hundred; one man one car; pilih kuda atau kijang (di teror atau menerima hadiah mobil kijang), melakukan pendekatan paksa yaitu memboyong anggota Dewan yang diperkirakan akan memilih calon lainnya kalau tidak boleh dikatakan mengkerangkeng” yang dikenal dengan istilah “serangan fajar”. Bentuk/model pendekatan manapun yang dipakai oleh para Tim Sukses dari masing-masing calon, kesemuanya adalah terpulang kepada kemampuan berkomunikasi yang komunikabilitas. Hanya saja teknik yang digunakan ada yang bersifat kooperatif dan ada pula yang kompetitif yaitu dengan menghalalkan segala cara; pokoknya menang (terpilih menjadi Bupati/Wakil Bupati). Pada akhirnya calon yang kurang efektif dalam lobi-melobi dan bernegosiasi akan tersingkir, walaupun oleh masyarakat calon yang menang bukanlah calon yang tepat dan tidak berbobot atau tidak pantas untuk memimpin daerah. Tetapi kalau sudah terpilih oleh anggota Dewan Yang Terhormat (sekarang pemilihan langsung) mau apa lagi. –Garbage in Garbage out;, kalau yang terpilih berkualitas sampah, kepemimpinannya juga seperti sampah.

2. Kasus-kasus Pemberontakan
Dalam Negeri Sepanjang sejarah telah beberapa kali terjadi pemberontakan yang bertujuan ingin melepaskan diri dari NKRI dan merdeka (mendirikan negara sendiri), seperti: RMS di Maluku; Permesta di Sulawesi Utara; PRRI di Sumatera Brat; GAM di Aceh, dan OPM di Papua. Selain itu ada pula pemberontakan yang bertujuan mengganti ideologi Pancasila (DI/TII dan G.30.S/PKI). Namun mengapa perbedaan dan pertentangan yang melahirkan pemberontakan dapat terjadi, jawabannya boleh jadi karena kegagalan lobi dan negosiasi. Walaupun peristiwa pemberontakan tersebut berhasil ditumpas dengan senjata dalam arti penyelesaiannya menggunakan pendekatan menang-kalah (kompetitif). Sebagai contoh, bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) setelah beberapa tahun dilakukan penumpasan dengan angkat senjata oleh TNI/Polri namun tidak tuntas, kemudian dilakukan lobi-lobi dan perundingan/negosiasi yang pada akhirnya menghasilkan persetujuan (MOU Helsinki) yang saling menguntungkan (menang-menang) suatu pendekatan kooperatif. Pendekatan kooperatif dilakukan, karena selain penerapan pendekatan kompetitif dengan memerangi GAM (yang mendapat bantuan LN?) dirasa kurang efektif juga memang cara-cara kekerasan tidak disukai oleh dunia internasional.

3. Kasus Perang Dingin Amerika Serikat – Uni Soviet Ketika Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet memuncak dan akan berubah menjadi Perang Terbuka, karena Presiden Uni Soviet mengancam akan mengangkat senjata (Perang Terbuka). Untuk menjawab tawaran berdasarkan ancaman senjata yang diperkirakan tidak akan menguntungkan Amerika, Presiden J.F. Kennedy menggertak dengan berkata: “I can’t loose ! Why ? I will tell you why. Becaouse I have knowledge, Courage and enthuasm” Dengan gertakan tersebut telah membuat dan memudarkan keinginan Soviet untuk berperang secara terbuka. Perang Terbuka tidak terjadi. Dalam kasus ini menggunakan model kompetitif (menangkalah) yaitu pihak yang menang adalah Amerika karena Perang Terbuka tidak terjadi. Namun tidak demikian halnya dengan sengketa AS dan Irak. Dalam kasus ini jelas terlihat betapa penting arti sebuah lobi. Memang di Era Globalisasi sekarang ini, kalau sesuatu perbedaan/pertikaian tidak dapat diselesaikan melalui perundingan dengan lobi-lobi yang menyakinkan, niscaya akan terjadi lagi Perang Dunia III atau setidaknya akan terulang Perang Irak (Perang Teluk) dan/atau interpensi/teror-teror lainnya. E. Penutup Setelah memahami konsep Lobi dan Negosiasi serta mencermati dan mensiasati kasus-kasus/peristiwa-peristiwa tentang beberapa perbedaan/ pertentangan dan persengketaan dalam pergaulan di tingkat lokal, nasional, dan internasional, maka dirasakan bahwa “Konsep lobi, dan negosiasi sudah menjadi suatu keharusan global; kalau tidak boleh dikatakan sebagai suatu kemutlakan.

Daftar Pustaka Alan
N. Schoonmaker, Langkah-langkah Memenangkan Negosiasi, PIM, Jakarta, 1993. Dewi Fortuna Anwar,
Lobbying dan Negosiasi, Makalah pada Orientasi Pendalaman Bidang Tugas Ketua-ketua DPRD Tingkat II se-Indonesia, Badan Diklat
Depdagri, Jakarta, 1997.
Hasnan Habib, Faktor-faktor Strategik dalam Negosiasi Internasional, Makalah dalam Seminar Sehari: “Strategi Negosiasi Bisnis di Era Globalisasi”, Kerjasama LAN dan Lembaga Bina Profesi, Jakarta, 1997.
Mufid A. Busyairi, Negosiasi untuk Mencapai Kesepakatan, Makalah pada Orientasi Pendalaman Bidang Tugas Ketua-ketua DPRD Tingkat II se-Indonesia, Badan Diklat Depdagri, Jakarta, 1997.
Yeremi G. Thorn, Terampil Bernegosiasi, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1995.

Ditulis oleh Rusly ZA Nasution
H. Rusly ZA Nasution, Drs.,S.H.,MM. adalah dosen tetap Fakultas Ekonomi dan Kepala Biro Administrasi
Kemahasiswaan Universitas Langlangbuana. Abstrak: Dalam Era Globalisasi sekarang ini,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar